TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2024. Pengumuman tersebut didasarkan pada hasil rekapitulasi suara secara nasional untuk pemilihan presiden, legislatif, dan dewan perwakilan daerah.
Hasyim Asy'ari, Ketua KPU RI menyatakan bahwa keputusan ini diatur dalam Surat Keputusan Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024. Hasyim menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil dari keputusan KPU tentang penetapan hasil pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Memutuskan menetapkan keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang penetapan hasil pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2024," kata Hasyim di Kantor KPU, Jakarta Pusat, pada Rabu, 20 Maret 2024.
Pidato kemenangan Prabowo 2024
Prabowo Subianto memberikan pidato kemenangan setelah KPU menetapkan dirinya dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang Pilpres 2024. Prabowo-Gibran berhasil mengalahkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar-Mahfud MD, meraih kemenangan di 36 dari 38 provinsi di Indonesia. Pidato tersebut disampaikan di kediamannya di Kertanegara IV, Jakarta, pada Rabu, 20 Maret 2024 malam, didampingi oleh elit Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan rasa syukurnya atas keputusan resmi KPU terkait hasil Pemilu 2024, serta mengucapkan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah menggunakan hak pilihnya. Prabowo juga mengapresiasi penyelenggara pemilu, termasuk KPU, Bawaslu, DKPP, TNI, Polri, dan unsur pendukung lainnya, atas kelancaran dan keamanan pelaksanaan pemilu.
Prabowo juga menyampaikan terima kasih kepada semua partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, serta tokoh-tokoh nasional dan relawan yang turut mendukungnya. Dia mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dan bekerja sama menuju kemakmuran dan keadilan.
Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus bersatu dan kuat, tidak lagi dipecah belah, serta menegaskan bahwa pemerintahannya akan bekerja untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa membedakan pilihan politik. Dia juga mengakhiri pidatonya dengan menyampaikan takbir sebagai ungkapan kegembiraan.
Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto memberikan keterangan pers terkait situasi dan kondisi terkini pasca Pemilu di kediaman Kertanegara 4, Jakarta, Rabu, 8 Mei 2019. Dalam jumpa pers ini, Prabowo juga menanggapi penetapan tersangka Ustadz Bachtiar Nasir. TEMPO/M Taufan Rengganis
Pidato Prabowo pasca-kalah gugatan di MK tahun 2019
Pasca-penolakan Mahkamah Konstitusi semua permohonan dari calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, Prabowo menyampaikan pidato. Setelah putusan tersebut, Prabowo langsung menyampaikan pidato di kediamannya di Jalan Kertanegara 4, Jakarta, bersama dengan pimpinan partai koalisi Adil Makmur.
Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan bahwa dia menghormati putusan MK dan mengucapkan terima kasih kepada semua pendukungnya. Meskipun dia menyadari bahwa keputusan tersebut mengecewakan, baik bagi pendukung Prabowo-Sandi, partai Koalisi Indonesia Adil Makmur, maupun bagi dirinya sendiri dan tim pemenangannya, mereka semua sepakat untuk tetap patuh pada jalur konstitusi, yaitu UUD RI 1945 dan sistem perundang-undangan.
Prabowo menyerahkan sepenuhnya kebenaran dan keadilan kepada Allah SWT dan menyatakan bahwa mereka akan berkonsultasi dengan tim hukum mereka untuk mencari tahu apakah masih ada langkah hukum atau konstitusional lain yang dapat mereka tempuh. Mereka juga berencana untuk segera mengundang seluruh pimpinan Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk berkonsultasi mengenai langkah-langkah selanjutnya.
Prabowo dan Sandiaga Uno mengucapkan terima kasih atas kepercayaan, dukungan, kerja keras, dan loyalitas dari seluruh pendukung mereka. Mereka menyampaikan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan yang mulia dan luhur untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, serta merdeka secara politik, ekonomi, dan budaya.
Prabowo mengajak seluruh pendukungnya untuk tetap tegar, tenang, dan penuh semangat, namun selalu dalam kerangka damai, anti-kekerasan, dan setia pada konstitusi. Mereka juga menegaskan pentingnya memikirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu keutuhan bangsa dan negara, serta memandang seluruh anak bangsa sebagai saudara-saudara kita sendiri.
Selanjutnya: Pidato Lengkap Prabowo tolak kecurangan Pemilu 2029
Pidato Prabowo Tolak Kecurangan Pemilu 2019
Berikut pidato politik lengkap Prabowo Subianto:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya.
Saudara-saudara sekalian, sebagai insan yang bertakwa dan beragama marilah kita tidak henti-hentinya memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Maha Besar, Maha Kuasa. Kita masih diberi kesehatan dan diberi nafas sehingga kita dapat hadir pada acara yang penting pada sore hari ini. Menjelang kita buka puasa dalam hari kesembilan Ramadan.
Saya diberi tahu bahwa 9 Ramadan ini adalah persis tanggal proklamasi 17 Agustus 1945. Kadang-kadang kita tidak tahu ada kekuatan yang mengatur. Saudara-saudaraku sekalian, saya diminta memberi kata-kata penutup. Tentunay saya menyapa dan menghormati semua hadirin sekalian. Tokoh-tokoh nasional yang hadir, yang banyak sekali ya. Saya kira, saya tidak sebut namanya satu per satu. Tanpa mengurangi rasa hormat, tapi begitu banyak tokoh-tokoh yang hadir. Tokoh-tokoh pejuang, kalau diminta saya bisa sebut. Bagaimana? Disebut? Terus terang saja, begitu banyak orang-orang yang saya hormati, yang saya anggap. Orang-orang yang saya kagumi. Orang-orang yang membentuk saya, guru-guru saya, senior-senior saya, ustad-ustad saya.
Saudara-saudara sekalian, saya tidak akan panjang lebar karena kita sebentar lagi Magrib. Jadi saya hanya singkat saja. Kita mengerti bahwa demokrasi adalah jalan terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi kita melihat dan kita merasakan dan kita sekarang memiliki bukti-bukti dan kita mengalami rekan-rekan kita, pejuang-pejuang kita. Kita mengalami pemerkosaan demokrasi di Republik Indonesia ini.
Karena itu, tolong perhatikan dengan seksama, mendengar, dan menyakinkan diri kita dan rakyat kita,
bahwa kita telah memenangkan mandat dari rakyat.
Kita telah memenangkan mandat dari rakyat.
Kalau kita menyerah berarti kita menyerah terhadap ketidakadilan. Itu artinya kita berkhianat kepada negara, bangsa, rakyat. Itu artinya kit berkhianat kepada pendiri-pendiri Bangsa Indonesia. Itu artinya kita berkhianat kepada puluhan ribu orang yang telah gugur untuk mendirikan Negara Republik Indonesia ini. Saudara-saudara sekalian, Setelah ini, sore hari ini saya ke Kertanegara, saya akan kumpulkan ahli hukum. Saya akan membuat surat wasiat saya.
Saya katakan nggak usah nakut-nakuti kita dengan makar-makar. Orang-orang ini, tokoh-tokoh bangsa ini bukan makar. Jenderal-jenderal itu mempertaruhkan nyawanya sejak muda. Mereka tidak makar. Tyasno tidak makar, Imam Sufa'at tidak makar, Sulatin tidak makar, Tedjo Eddy tidak makar, Djoko Santoso tidak makar, Amien Rais tidak makar, kita membela negara dan bangsa Indonesia. Jangan takut-takuti kita dengan senjata yang diberikan oleh rakyat. Ada yang mengatakan Pak Prabowo, bagaimana sikapnya, katanya ada yang minta ketemu saya. Bolak-balik minta ketemu. Jangan, nggak boleh. Emak-emak jangan emosional. Berbicara boleh, berunding boleh, menyerah tidak boleh.
Ya, jadi Sikap saya adalah sebagai berikut. Kami masih, kami masih menaruh secercah harapan. Kami menghimbau insan-insan di KPU. Kami menghimbau kau anak-anak Indonesia yang ada di KPU, sekarang nasib masa depan bangsa Indonesia ada di pundakmu. Kau yang harus memutuskan. Kau yang harus memilih, menegakkan kebenaran dan keadilan demi keselamatan bangsa dan rakyat Indonesia atau meneruskan kebohongan dan ketidakadilan berarti kau mengizinkan penjajahan terhadap rakyat Indonesia.
Kami masih menaruh harapan kepadamu. Tapi yang jelas, sikap saya adalah saya akan menolak hasil penghitungan pemilihan. Hasil penghitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakjujuran. Saya dan saudara Sandi bukan atas ambisi pribadi, kita ingin jadi apa-apa. Demi Allah tidak ada niat. Sesungguhnya kalau kau tanya hati saya, saya inginnya istirahat. Tapi saudara-saudara, setelah saya keliling, setelah saya melihat mata daripada rakyar kita, setelah saya pegang tangan mereka, setelah saya merasakan getaran dan mendengarkan ungkapan-ungkapan mereka. Harapan mereka rakyat Indonesia, penderitaan rakyat, harapan rakyat akan suatu negara yang adil. Jadi itu telah menjadi bagian dari diri saya. Karena itu tidak mungkin saya meninggalkan rakyat Indonesia. Saya akan timbul dan saya akan tenggelam bersama rakyat Indonesia.
Kalau proses perampasan dan pemerkosaan ini berjalan terus, hanya rakyatlah yang menentukan. Hanya rakyat yang akan menentukan. Selama rakyat percaya sama saya, Selama itulah saya bersama rakyat Indoensia.
Jangan khawatir, saya akan bersama rakyat. Selalu bersama rakyat sampai titik darah saya yang terakhir. Saya bicara seperti ini sudah lama saya dididik dan saya kaget Sandiaga Uno bicara seperti ini tadi.
Ada yang mengatakan saudara Sandiaga Uno ini seorang pengusaha, dia anak muda. Dia akan meninggalkan Prabowo Subianto, nyatanya dia lebih rajin turun ke daerah-daerah daripada saya.
"Yang tadi dia sudah menyatakan sikap dan sekarang saya yang menyatakan sikap saya. Kita akan membela keadilan dan kebenaran dan kejujuran sampai kemenangan rakyat diakui. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," kata Prabowo.
MICHELLE GABRIELA | JULI HANTORO | IRSYAN HASYIM
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersilaturahmi ke kediaman Habib Muhammad Luthfi bin Yahya atau biasa disebut Habib Lutfi di Pekalongan, Jumat (19/5/2023). Foto: Biro Humas Kemenhan
jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Survei Political Statistics (Polstat) Indonesia merilis data terbaru mereka terhadap elektabilitas sejumlah capres yang diprediksi akan bertarung di Pilpres 2024 mendatang.
Peneliti Senior Polstat Apna Permana menyampaikan, dari tiga simulasi Pilpres yang dilakukan lembaga survei mereka terhadap para responden, semuanya dimenangkan oleh Prabowo Subianto.
"Dalam berbagai format pertanyaan kepada responden, mulai dari pertanyaan terbuka (top of mind), pertanyaan tertutup simulasi 10 nama, pertanyaan tertutup simulasi tiga nama, maupun pertanyaan secara head to head, Prabowo selalu leading signifikan atas para pesaingnya," kata Apna dalam rilis surveinya, Sabtu (20/5).
Seperti dalam pertanyaan tertutup dari 10 nama tokoh yang ditawarkan, sebanyak 33,5% memilih Prabowo Subianto. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Ganjar yang hanya dipilih oleh 19,6% dan Anies didukung oleh 19,4% responden.
Di posisi berikutnya adalah Ridwan Kamil dengan elektabilitas 5,4%, Agus Harimurti Yudhoyono (3,6%), Erick Thohir (3,2%), Sandiaga Uno (2,8%), Puan Maharani (2,4%), Airlangga Hartarto (2,2%) dan Muhaimin Iskandar (1,9%), serta undecided (6,2%).
Begitu pula ketika simulasi Pilpres hanya diikuti tiga nama saja, Prabowo Subianto tetap berada di peringkat pertama dengan raihan suara 39,2% responden, kemudian 27,1% memilih Ganjar dan 26,9% memilih Anies. Sementara 6,8% responden menyatakan belum punya pilihan (undecided).
Pun ketika simulasi Pilpres dilaksanakan saat ini dan hanya diikuti oleh Prabowo dan Ganjar, sebanyak 52,3% menjatuhkan pilihannya pada Prabowo, lalu 35,8% memilih Ganjar dan sisanya (11,9%) mengaku belum punya pilihan.
"Prabowo Subianto juga leading jauh atas Anies Baswedan dalam simulasi secara head to head. Ketika Polstat Indonesia mengajukan pertanyaan kepada responden, siapa yang akan dipilih jika Pilpres dilaksanakan saat ini dan hanya diikuti oleh Prabowo dan Anies, sebanyak 54,6% mengaku akan memilih Prabowo dan hanya 34,5% yang memilih Anies," terangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah 'kadrun' berkembang setelah munculnya istilah 'kampret'. Tendensinya sama saja, yakni digunakan untuk mengolok-olok kubu politik yang berseberangan.
Istilah kadrun digunakan oleh kubu pendukung Presiden Jokowi untuk menyebut kelompok yang berseberangan dengan mereka. Salah satu pendukung Jokowi yang aktif di media sosial, yakni Ade Armando, pernah menjelaskan soal istilah ini saat ada yang keberatan dengan istilah kadrun yang dilontarkan Ade.
"'Kadrun' itu kan bahasa yang kita pakai sekarang itu untuk menjelaskan orang-orang yang berpikiran sempit, terutama yang dipengaruhi oleh gerakan ekstremisme, fundamentalisme dari Timur Tengah, makanya istilahnya 'kadal gurun' kan," kata Ade saat dihubungi wartawan, 10 Juni 2020.
Analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, sempat menelusuri asal mula penggunaan istilah 'kadrun' di media sosial. Dia menuangkan penjelasannya di akun Twitter-nya pada 13 Agustus 2020, dan mempersilakan detikcom untuk mengutip penjelasannya saat dihubungi pada Kamis (17/12/2020).
Temuan Ismail Fahmi, cuitan di Twitter mengandung kata 'kadal gurun' muncul pada 22 Februari dan 12 Maret 2019. Selanjutnya, pada 15 Mei 2019, pukul 09.25 WIB, istilah 'kadal gurun' mulai digunakan untuk menstigma pihak yang dicap radikal.
Baru pada 13 September 2019, istilah 'kadrun' menjadi tren. Penggunaannya terpantau mengalahkan tren volume penyebutan 'cebong' dan 'kampret'. Maka Ismail Fahmi menyimpulkan, tren istilah kadrun muncul tahun 2019.
Terpantau pada saat itu, lima besar influencers pengguna istilah 'kadrun' adalah akun @Dennysiregar7, akun @ChusnulChotimah, akun @Candraasmara85, akun @mochamadarip, dan akun @AnakKolong.
Gatot ingin istilah itu dihentikan
Gatot Nurmantyo menyebut istilah binatang itu dihentikan. Soalnya, itu melecehkan Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan itu disampaikan Gatot dalam video yang dibagikan akun Instagram-nya @nurmantyo_gatot yang bercentang biru seperti dilihat detikcom, Kamis (17/12/2020). Gatot juga menyertakan caption 'jangan merendahkan bangsaku' di unggahannya itu.
"Dalam kesempatan ini juga saya mengimbau, secara tidak sadar ataupun sadar, sengaja ataupun tidak sengaja, kita anak bangsa ini sudah merendahkan bahkan melecehkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mempunyai sebutan masing-masing ada yang menyebutkan kadrun, ada yang menyebutkan kampret, itu kan nama binatang, padahal itu ciptaan Tuhan, manusia kita semua," kata Gatot dalam video.
Apa yang dibicarakan Jokowi dan Surya Paloh?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin, mengatakan pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh menjadi "magnet besar" bagi publik.
Sebab dalam Pilpres 2024, keduanya berada di kubu yang berseberangan. Surya Paloh menjadi pengusung pasangan Anies-Muhaimin yang menyuarakan ide perubahan. Adapun Presiden Jokowi mendukung putranya Gibran Rakabuming Raka yang bersanding dengan Prabowo Subianto.
Menurut Alvin, pertemuan yang dibarengi makan malam tersebut membicarakan sejumlah isu.
Mulai dari keinginan untuk mengembalikan "rasa konsolidasi" yang dulu pernah ada - mengingat pada Pemilu 2014 dan 2019 partai Nasdem menjadi penyokong Jokowi -hingga upaya mengajak Nasdem "kembali menjadi bagian pemerintahan".
"Karena Nasdem ini dari Pemilu 2014, 2019 di dalam pemerintahan, dia punya rekam jejak bersama Presiden Jokowi ketika menjadi capres untuk pertama kalinya," ujar Silvanus Alvin kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pengamat politik dari Centre for strategic and international Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, juga sependapat.
Ia menduga, pembicaraan keduanya sudah mengarah pada penjajakan koalisi dengan kubu Prabowo-Gibran. Apalagi Presiden Jokowi menyebut dirinya sebagai jembatan untuk urusan partai-partai.
Pasalnya gaya pemerintahan Prabowo tak akan jauh berbeda dengan Jokowi yang "sebisa mungkin merangkul semua partai agar tidak tercipta oposisi yang efektif".
"Dan bisa juga strategi bersama. Prabowo akan melakukan kunjungan ke Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang punya hubungan pasang surut dengan Jokowi."
Berbeda dengan Nicky, pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, berkata penjajakan untuk berkoalisi kembali terlalu dini disampaikan Jokowi kepada Surya Paloh.
Karena bagaimanapun penghitungan suara oleh KPU masih berjalan meskipun berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei menempatkan Prabowo-Gibran unggul telak.
Ia menduga arah pembicaraan itu bagian dari "upaya menjinakkan" kubu Surya Paloh yang selama ini kencang menyuarakan adanya dugaan kecurangan.
"Penjinakan kepada Surya Paloh bahwa sekarang kami sudah menang, tidak perlu lagi keras-keras dan terima kekalahan," ujar Ahmad Atang.
"Atau pertemuan itu sebagai bagian dari upaya melakukan cooling down dinamika politik yang sedang tinggi terutama di kubu Anies-Muhaimin yang sangat menentang hasil quick count."
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Surya Paloh.
Namun Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, menuturkan pertemuan itu hanya membahas dinamika politik yang berkembang saat ini.
Ia juga berkata terlalu dini apabila pertemuan tersebut diartikan bahwa Nasdem akan bersatu dengan kubu Jokowi lagi.
"Ah terlalu dini, Pak Surya orang yang tegas dengan sikap-sikap beliau. Jadi kita saling menghormati," ucapnya di Nasdem Tower.
Sumber gambar, Getty Images
Sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan pertemuannya dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh di Istana Merdeka, pada Minggu (18/02) malam, untuk menjadi "jembatan" atau sebutnya menjembatani sesuatu.
Hal itu disampaikannya usai meresmikan RS Pusat Pertahanan Negara Panglima Besar Soedirman dan 20 RS TNI di Jakarta Selatan.
Presiden melanjutkan adapun soal urusan politik, ia serahkan kepada partai-partai. Dia berkata hanya ingin menjadi penghubung komunikasi terhadap semua hal.
"Saya itu sebetulnya hanya jadi jembatan. Yang penting nanti partai-partai [yang mengurus]. Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya."
Ia kemudian berkata, pertemuan tersebut akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan di Indonesia.
Dia pun tak mau ambil pusing terkait pihak mana yang meminta pertemuan itu terlebih dahulu - apakah dari pihak Istana maupun Nasdem.
"Saya kira dua-duanya enggak perlu lah siapa yang undang. Yang paling penting memang ada pertemuan itu dan itu akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan negara kita."
Mengapa Jokowi mau merangkul semua partai masuk dalam pemerintahan Prabowo-Gibran?
Pengamat politik Nicky Fahrizal mengatakan dalam sejarah politik Indonesia tradisi oposisi yang efektif terakhir terjadi di era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, atau yang dikenal sebagai demokrasi parlementer.
Tetapi ketika kembali ke sistem presidensial, keberadaan oposisi semakin mengecil. Catatan adanya oposisi hanya kala PDIP tidak menjadi partai pemenang pemilu.
"Masuk era reformasi di awal, makin naik turun," sebut Nicky.
"Jadi desain sistem ketatanegaraan kita membentuk model pemerintahan yang oposisinya tidak efektif."
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Akibat dari tidak kuatnya peran oposisi, pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah akan melemah.
Dan ketika terjadi kekeliruan di dalam pengambilan kebijakan, tidak akan ada yang mendorong perbaikan. Apalagi kalau suara kritis dari masyarakat sipil dibungkam.
Baginya saat Jokowi menyebut dirinya sebagai "jembatan" partai-partai, itu artinya dia tetaplah sebagai "king maker" sebelum dan sesudah pemilu.
"Ini semua memang seperti yang dia katakan setahun lalu mengatakan akan cawe-cawe, dan itu berhasil."
Sementara itu, Silvanus Alvin menilai keinginan Prabowo maupun Jokowi yang ingin merangkul sebanyak-banyaknya partai supaya komunikasi dengan legislatif sebutnya lebih kondusif.
Apalagi untuk mewujudkan program-program kampanye yang selama ini disuarakan yakni makan siang gratis.
"Itu kan harus melewati proses di DPR untuk menggolkan anggarannya."
Akan tetapi, dia menyayangkan langkah Presiden Jokowi -yang disebutnya melangkahi Prabowo- jika betul bahwa pertemuannya dengan Surya Paloh untuk menjajaki koalisi bersama di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurut Alvin, Presiden Jokowi sebaiknya fokus saja pada sisa pemerintahannya untuk menuntaskan sejumlah kebijakannya dan yang utama menjaga kondusifitas bangsa.
"Saatnya Presiden Jokowi menjadi sosok negarawan yang memikirkan bangsa, di sisa [jabatan] ini selesaikan tugas dan menuntaskan kepemimpinannya dengan mulus."
'Tidak akan semudah itu'
Meskipun potensi Nasdem kembali masuk dalam bagian pemerintahan Prabowo-GIbran terbuka lebar, tapi pengamat komunikasi politik Silvanus Alvin menilai hal itu tidak akan mudah.
Sikap Nasdem, ucapnya, baru akan kelihatan setelah real count dari KPU selesai. Selain itu koalisi pengusung Anies-Muhaimin memiliki dukungan yang cukup kuat dari masyarakat untuk terus membawa gagasan perubahan.
"Bagaimanapun Nasdem yang pertama membawa narasi perubahan, kalau tiba-tiba berada dalam pemerintahan dan menerima ajakan [koalisi] dan Nasdem mau, saya rasa akan kurang positif impaknya bagi pengusung Nasdem yang di masa kampanye menyuarakan isu perubahan."
"Seakan-akan setelah jagoannya kalah ditinggalkan."
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Belum lagi keberadaan rekan di kubunya yakni Partai Keadilan Sejahtera yang konsisten dengan sikap politiknya menyatakan diri sebagai oposisi. Ditambah sikap PDI Perjuangan yang sudah menyebut siap menjadi oposisi.
Pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, sependapat. Dia meyakini Surya Paloh tidak akan segampang itu meninggalkan koalisi sebelum ada keputusan final dari KPU.
Paling tidak, sambung Ahmad Atang, jawaban diplomatis yang dilontarkan Surya Paloh dalam jamuan makan malam itu adalah "masih menunggu perhitungan resmi."
Bertemu Jokowi, Surya Paloh disebut sedang penjajakan koalisi Prabowo-Gibran
Sumber gambar, Getty Images
Pertemuan Presiden Jokowi dengan Surya Paloh di Istana Negara pada Minggu (18/02) malam memicu banyak spekulasi. Mulai dari dugaan bahwa Surya Paloh dan Partai NasDem diajak masuk koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran hingga "penjinakan" agar Surya Paloh menerima kekalahan dalam kontestasi Pilpres 2024.
Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa dirinya adalah "jembatan" bagi urusan partai-partai dalam pertemuan tersebut.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Surya Paloh.
Namun, Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, berkata terlalu dini apabila jamuan makan malam tersebut diartikan bahwa partainya akan bersatu dengan kubu Jokowi lagi.
Apa tanggapan koalisi Anies-Muhaimin?
Ketua Fraksi PKB di DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebut pertemuan Ketum NasDem Surya Paloh dengan Presiden Jokowi tak ada koordinasi dengan ketum partai koalisi dan Timnas Anies-Muhaimin (AMIN).
Meski dia menilai pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi merupakan hak Nasdem sebagai partai. PKB, katanya, akan tetap pada sikapnya yakni mengawal pemilu hingga penghitungan resmi dari KPU tuntas.
Namun demikian, Ketua DPP PKB, Daniel Johan mengingatkan bahwa parpol-parpol anggota Koalisi Perubahan atau koalisi pengusung capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar telah membuat kesepakatan tentang langkah yang bakal dilakukan di tengah tahapan pemilu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Koalisi yang terdiri dari PKB, Nasdem, dan PKS membuat konsensus untuk sama-sama mengawal perolehan suara, baik yang terkait pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg) setiap partai.
"Kesepakatan itu yang seharusnya dipegang partai saat ini, termasuk Nasdem, ketika proses pemilu masih pada tahapan rekapitulasi suara," kata Daniel seperti dilansir Kompas.com.
Dia juga mengatakan belum ada undangan Jokowi kepada partainya.
Sama seperti PKB, juru bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan pertemuan Surya Paloh dengan Presiden Jokowi merupakan hak Nasdem dan tidak memengaruhi apapun sikap PKS.
At the end of August, nationwide protests rocked Indonesia, with demonstrators in Jakarta trying to break down the gates of parliament. The spark was a plan by lawmakers to circumvent Constitutional Court rulings about Indonesia’s regional elections in November that would disadvantage the political alliance of current President Joko Widodo, known as Jokowi, and Defense Minister Prabowo Subianto, who will succeed him on Oct. 20.
Faced with the angry protests, the lawmakers backed down in a rare defeat for the partnership that now dominates Indonesian politics. With remarkable chutzpah, both Jokowi and Prabowo quickly distanced themselves from the bills proposed by their supporters in parliament.
At the end of August, nationwide protests rocked Indonesia, with demonstrators in Jakarta trying to break down the gates of parliament. The spark was a plan by lawmakers to circumvent Constitutional Court rulings about Indonesia’s regional elections in November that would disadvantage the political alliance of current President Joko Widodo, known as Jokowi, and Defense Minister Prabowo Subianto, who will succeed him on Oct. 20.
Faced with the angry protests, the lawmakers backed down in a rare defeat for the partnership that now dominates Indonesian politics. With remarkable chutzpah, both Jokowi and Prabowo quickly distanced themselves from the bills proposed by their supporters in parliament.
“Today we saw an extraordinary democratic process,” Hasan Nasbi, the head of communications for Jokowi, said on Aug. 22, the day that protesters attempted to storm parliament, adding that the scenario was just an example of “our greatness as a nation.” Prabowo took the opportunity to denounce unnamed politicians with an “endless thirst for power” who “seek to pursue interests other than those of the people.”
This year, facing a term limit, Jokowi tacitly backed Prabowo’s presidential bid in Indonesia’s February election. Some state institutions have seemed to help Prabowo, who has pledged to continue Jokowi’s legacy. Their powerful alliance has pushed Indonesia’s democratic system to its limits—but the protests show that opposition remains, even if under threat. The Constitutional Court rulings still stand in their way as regional elections approach, and Prabowo may face similar pushback when he takes office.
The surprise rulings by the Constitutional Court will reshape the regional elections in November. The first decision lowered the nomination threshold for candidates. Until now, regional candidates needed backing from political parties that collectively represent at least 20 percent of seats in regional legislatures or 25 percent of all voters. With eight major parties aligned behind Prabowo and Jokowi, there was clear coordination to back single candidates in key governors’ races, which would have let them run unopposed.
Candidates critical of the government faced a lockout. But the ruling should now enable candidates to run from Jokowi’s former party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P)—which increasingly opposes the president since he backed Prabowo.
The Constitutional Court also struck down a May Supreme Court ruling that found that regional candidates needed to meet minimum age requirements only at the time of their inauguration, not when they register their candidacies—as was previous practice. Critics found the Supreme Court’s decision suspect, not least because the only candidate affected in the regional elections was Jokowi’s youngest son, Kaesang Pangarep, who was preparing to run for deputy governor of Central Java.
Last year, another Constitutional Court ruling allowed Jokowi’s eldest son, Gibran Rakabuming Raka, to run as Prabowo’s vice president despite not meeting the age limit of 40. The case was presided over by then-Chief Justice Anwar Usman—who happens to be Jokowi’s brother-in-law; he was later forced to step down for ethics violations in presiding over the case.
Faced with this double blow, pro-government parties formed their plan to circumvent the rulings in parliament. On Aug. 21, key legislators met with Minister of Law and Human Rights Supratman Andi Agtas, a member of Prabowo’s party. They emerged with a proposal to revise the regional election law’s provisions on candidate eligibility and nominations.
But while public reaction to previous controversies—such as the ruling that allowed Gibran to run—was muted, there was swift popular outcry this time around. “At the time of the Constitutional Court’s Gibran decision, the people were perhaps not yet aware what was occurring behind the scenes and the meddling of President Joko Widodo,” said Agung Pradita, a student who helped lead the protests. “The people are now becoming aware that the state of democracy in Indonesia today is not good.”
On Aug. 22, protesters launched major demonstrations in more than a dozen Indonesian cities. As usual, students and workers’ groups took the lead among the crowds, but many experienced activists said that the protests attracted more people not usually inclined toward activism. They credited much of this to social media, where influencers and others with popular accounts promoted protests with an image designed to look like a disaster warning.
Many protesters focused on Jokowi, accusing him of plotting to build a political dynasty and drawing comparisons to the nepotism of the military dictator Suharto, who led Indonesia as president for 30 years. Other activists took up broader themes: “The reason I fought hard to safeguard the Constitutional Court decisions is because, in my opinion, if we lost that decision, we’ve lost our democracy and we’ve lost our rule of law,” Titi Anggraini, a constitutional lawyer, said.
Thomas Lembong, a former trade minister under Jokowi who is now a critic, was one of the few prominent political figures to publicly side with the protesters, giving a speech at a demonstration in Jakarta. “Democratic values … are deeply embedded in our society some 26 years after our transition to democracy, and what we’re witnessing is our people reacting strongly to efforts by certain political elites to dismantle the institutions of democracy,” Lembong told Foreign Policy.
The upcoming regional elections now look more competitive, with some caveats. Few races look set to have just a single candidate, although a number of races include only candidates supported by parties within Prabowo’s coalition. Still, limits on Prabowo’s ability to corral parties that nominally support him may serve as a check on his power. The PDI-P is the one party currently providing opposition to Prabowo and Jokowi, but its plans to back former governor of Jakarta and presidential candidate Anies Baswedan to run in either Jakarta or West Java foundered.
Lembong said he is hopeful that the Prabowo-led government might reverse course from Jokowi once it takes office next month. “With a fresh electoral mandate, and inheriting all the levers of power as the continuation of the ruling coalition, the incoming Prabowo administration has every opportunity to rehabilitate our democratic institutions,” he said.
However, if the executive has chipped away at limits on its power under Jokowi, there are reasons to believe that this trend could continue under Prabowo. The onetime son-in-law of Suharto, Prabowo was implicated in the kidnapping and disappearance of democracy activists in 1998; he has previously expressed dissatisfaction with how democracy functions in Indonesia and suggested that regional elections should be abolished.
“For a long time, there’s been the Indonesian struggle for democracy,” said Kevin O’Rourke, founder of the political risk consultancy Reformasi Information Services. “Now it seems more the Indonesian toggle for democracy: toggle off one day, toggle on the next.”
The Constitutional Court is already under pressure. Anwar, the former chief justice, is pursuing a court case to be reinstated to the role. Pro-government lawmakers have proposed bills that would weaken the court, in part by changing term limits for judges that would remove some of the judges who voted against the Gibran ruling last year.
The military, a mainstay of the political system under Suharto, may also stage a modest comeback when Prabowo takes office. Senior politicians expected to serve in Prabowo’s government have privately indicated that he is keen to see the military play a role. Political analysts have expressed alarm over proposed legal changes that would help the military expand its influence in politics. The revisions to laws governing the military would allow active-duty officers to serve in a wider range of bureaucratic posts, and the military has also started lobbying to regain its right to engage in business activities.
Meanwhile, the potential for active political opposition in Indonesia has narrowed. Prabowo has recently suggested that such opposition was a Western cultural import and that Indonesia should cultivate a consensual political culture. He has already secured the support of seven of the eight parties that will sit in the next parliament. Leaders who don’t fall in line face being forced out. Airlangga Hartarto, the head of Golkar, Indonesia’s second-largest party in parliament, suddenly resigned on Aug. 11 without a clear explanation. He was reluctant to accept plans for all parties backing Prabowo to throw their weight behind the same candidates in regional races.
The new head of Golkar, Minister of Energy and Mineral Resources Bahlil Lahadalia, is seen as a close ally of Jokowi. In his speech accepting party leadership, he emphasized that Golkar would support the Prabowo government, adding cryptically: “We have to do better, because we’ll be doomed by this ‘Javanese king’ if we play around. I’m telling you, don’t try to play around with this thing. It’s terrifying.” Politicians and analysts interpreted the comment as a reference to Jokowi.
The only party that seems to be in the opposition now is the PDI-P, Jokowi’s former home; it pushed back against the proposed plans to disregard the Constitutional Court rulings and has at times raised the alarm about democratic erosion. However, Prabowo has signaled interest in working with the PDI-P, and while party leader Megawati Sukarnoputri may feel betrayed by Jokowi, she has worked with Prabowo in the past. (He was her running mate for the presidency in 2009.) Sukarnoputri’s daughter and heir apparent, parliamentary speaker Puan Maharani, has seemed particularly open to taking a cooperative approach.
How long Prabowo’s current cozy arrangement will work for him remains unclear. The political gossip in Jakarta today often revolves around when Jokowi and Prabowo’s relationship will break down. Until then, the room for opposition within the political system will likely remain limited—but if the opposition cannot find an outlet within established structures, it will continue to express itself outside the system as it did last month.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) makan siang bersama Menteri Pertahanan yang juga capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, di Magelang, Jawa Tengah. Jokowi dan Prabowo juga terlihat berbincang saat makan bakso.
"Ya ini kan tadi baru saja saya dengan Pak Prabowo meresmikan Graha Utama di Akademi Militer Magelang. Setelah itu, makan bakso, sudah," kata Jokowi kepada wartawan di Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024).
Jokowi dan Prabowo sebelumnya memang menghadiri acara peresmian Gedung Graha Utama Akademi Militer (Akmil) Magelang. Jokowi mengatakan dirinya dan Prabowo memesan menu yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menunya sama, (makannya sampai) habis," ucap Jokowi menunjuk mangkuk bakso yang sudah kosong.
Lalu, apa isi obrolan Jokowi dengan Prabowo sambil makan bakso?
"Ngobrolin bakso, ngobrolin kelapa muda, ngobrolin tahu goreng enak nggak, udah gitu," ucap Jokowi.
Prabowo juga memuji Jokowi. Menurutnya, Jokowi mahir mencari tempat makan yang enak.
"Pak Jokowi tahu di mana makan enak, di mana-mana udah tahu beliau," kata Prabowo.